MAKALAH
KELOMPOK 1
“HADIST
SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM”

OLEH:
1. NURUL HIKMA
2.
NITA
SAFITRI
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
T.H 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah mari kita
ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunian-Nya penulis dapat menyusun
makalah yang berjudul “Hadist
Sebagai Sumber Agama Islam”. Shalawat beserta
salam tidak lupa penulis haturkan kepada nabi junjungan Nabi Muhammad SAW
dengan mengucapkan “Allahumma shalli’ala syaidinna Muhammad, wa’ala ali
syaidina Muhammad.” Semoga dengan berselawat kita mendapat pertolongan dari
beliau di akhirat kelak.
Pada kesempatan ini, penulis ingin
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah
ini. Terutama kepada dosen mata kuliah Hadist, bapak Syarifuddin. yang telah memberi
bimbingan, dan juga kepada seluruh teman – teman penulis yang banyak membantu
dalam menyelesaikan makalah.
Makalah ini bertujuan untuk
mendapatkan nilai di mata kuliah Hadist,
dan juga untuk menjelaskan kepada pembaca tentang Hadist Sebagai Sumber Agama Islam.
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh
dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar
penulis bisa terus belajar dan memperbaiki diri. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru,16 September 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG..................................................................................... 1
1.2
RUMUSAN MASALAH................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadist, Sunnah,
Khobar dan Atshar.................................................. 2
2.1.1 Pengertian Hadist..................................................................................2
2.1.2 Pengertian Sunnah.................................................................................3
2.1.3 Pengertian Khabar.................................................................................3
2.1.4 Pengertian Atshar..................................................................................4
2.2
Struktur hadist yang meliputi sanad dan matan...................................................4
2.3
Kedudukan dan Fungsi Hadist............................................................................5
2.4
Hubungan Al-Qur’an dan Sunnah.......................................................................7
BAB
IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an
yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Sebagai sumber hukum
kedua, kita sebagai umat Islam wajib mempelajarinya. Terkhusus kepada para pelajar
Muslim, kita harus mengetahui pula pengertian hadits dan istilah ilmu hadits
lainnya berupa sunnah, khabar, dan atsar, persamaan dan perbedaannya, serta
bentuk-bentuk hadits, agar kita dapat mengetahui isi dari hadits dengan baik,
sehingga untuk menularkannya kepada masyarakat pun bisa dilakukan dengan benar.
Di sini penulis akan memaparkan sedikit hasil dari beberapa
buku yang telah penulis baca, berupa pengertian hadits, sunnah, khabar, dan
atsar serta persamaan dan perbedaannya, juga bentuk-bentuk hadits.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Pengertian Hadist, Sunnah, Khobar, dan Atshar
12.2 Struktur Hadist yang meliputi Sanad,Matan dan Mukhoriz
1.2.3 Kedudukan dan Fungsi Hadist
1.2.4 Huungan Al-Qur’an dan Sunnah
1.3
TUJUAN PENULISAN
Berdasrkan
rumusan masalah tersebut dapat maka tujuan dari penulisan makalh ini supaya
penulis dan pembaca makalah ini dapat mengetahui pengertian hadist, sunnah,
khobar, dan atshar, Struktur Hadist yang meliputi Sanad,Matan dan Mukhoriz,
Kedudukan dan Fungsi Hadist dan Huungan Al-Qur’an dan Sunnah
BAB II
PEMBAHASAN
HADIST SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM
2.1
Pengertian Hadist, Sunnah, Khobar dan Atshar
2.1.1 Pengertian Hadist
Hadist atau al-hadist menurut bahasa al-jadid
yang artinya sesuatu yang baru -lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti
menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadist juga
sering disebut sebagai al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan
definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai latar belakang disiplin
ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul akan berbeda dengan
pengertian yang diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli hadist pengertian hadist ialah segala perkataan
Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah
segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaanya. Ada juga yang
memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.
Tetapi sebagian muhaditssin berpendapat bahwa hadist
mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang di
sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada
para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di sebutkan oleh
al-tirmisi; ''Bahwasanya hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu',
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk
sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu' yaitu
yang di sandarkan kepada tabiin.''
Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadist
adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara' dan ketetapannya. Pengertian hadist menurut ahli ushul
lebih sempit dibanding dengan pengertian hadist menurut ahli hadist. Menurut
ahli ushul hadist adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak
bisa di katakan hadist.
2.1.2 Pengertian Sunnah
Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh
baik ataupun buruk, sebagaimana sabda nabi: "Barang siapa membuat
inisiatif yang baik ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barang siapa membuat
inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang.'' (HR.MUSLIM)
Dalam al-Qur'an surat al-Kahfi (18):55, Allah
berfirman; "Dan tidak sesuatu apapun yang menghalangi manusia dari
beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada
tuhanya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku
pada) umat-umat terdahulu”.
Sedang sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat
perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang,
persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara
garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan; Ahli Hadist, ahli
Usul, dan ahli Fiqh.
Pengertian sunah menurut Ahli Hadist; ''segala yang
bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, budi pekerti, perjalanan hidup,
baik sebelum diangkat menjadi Rosul maupun sesudahnya”.
Akan tetapi bagi ulama ushuliyyah jika antara sunnah dan
Hadist dibedakan , maka bagi mereka, hadist adalah sebatas sunnah
qauliyah-nya Nabi SAW saja. Ini berarti, sunnah cakupannya lebih luas di
banding hadist, sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan
(taqrir) Rasul, yang bisa di jadikan dalil hukum syar'i.
2.1.3 Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadist,
yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama
lainnya berbeda pendapat.
Ulama lain megatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang
selain dari Nabi SAW di sebut hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist
lebih umum dan lebih luas dari pada khabar, sehingga tiap hadist dapat
dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadist.
2.1.4 Pengertian Atshar
Atsar menurut pendekatan bahasa sama artinya dengan khabar,
hadits, dan sunnah. Sedangkan atsar menurut istilah yaitu“segala sesuatu
yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi
SAW.”
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Sedangkan
menurut ulama’ Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang
marfu’.
2.2
Struktur hadist yang meliputi sanad dan matan
Sanad ialah
rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang
yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad,
Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits
tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij.
Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga
mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika
diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan
jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad
disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam
tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan
lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits
terkait dengan sanadnya ialah :
- Keutuhan sanadnya
- Jumlahnya
- Perawi akhirnya
Sebenarnya,
penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan
ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian
sehingga ia cinta
untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait
dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits
ialah:
Ujung
sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat
sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan
ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
2.3
Kedudukan dan Fungsi Hadist
Hadist nabi
Muhammad saw dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Hadist qauliyah yaitu hadist atas dasar
segenap perkataan (ucapan) nabi Muhammad saw
- Hadist fi’liyah yaitu hadist atas
dasar perilaku (perbuatan) yang dilakukannabi Muhammad saw
- Hadist Taqririyah adalah hadist
atas dasar persetujuan nabi Muhammad saw terhadap apa yang dilakukan oleh
para sahabatnya artinya nabi Muhammad saw memberikan penafsiran atau
perbuatan yang dilakukan sahabatnya dalam suatu hukum Allah swt atau nabi
diam sebagai tanda persetujuan (boleh) atas perbuatan-perbuatan sahabat nabi
Muhammad saw.
Adapun
kedudukan atau fungsi hadist nabi Muhammad saw dalam hukum Islam adalah sebagi
berikut:
1.
Sebagai
sumber hukum Islam yang kedua.
Ada beberapa hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Rasulullah saw, kemudian menjelaskan hukumnya baik dengan perkataan, perbuatan
maupun dengan penetapan. Dalil hukumnya menjadi sunnah karena apa yang
dilakukan Rasulullah itu tidak lain penjabaran dari prinsip-prinsip yang sudah
ada dalam Al-Qur’an. Firman Allah swt sebagai berikut: “….Apa yang diberikan
rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang di larangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr: 7). “ Sesungguhnya telah ada pula diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik” (QS. Al Ahzab: 21). “Katakanlah:
taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imran :32). “ Barangsiapa yang
mentaati rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemeliharaan bagi mereka” (QS An Nisa:80)
2.
Sebagai
penguat dan pengukuh hokum.
Sebagai penguat
dan pengukuh hokum yang tealh disebutkan Allah didalam kitabnya, sehingga
keduanya yaitu Al-Qur’an dan hadist menjadi sumber hukum yang saling melengkapi
dan menyempurnakan
3.
Sebagai
penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Umpamanya, perintah shalat didapati dalam Al-Qur’an, tetapi tidak di
jelaskan tentang cara melaksanakannya, banyak rakaatnya, serta rukun dan
syarat-syaratnya, Rasulullah saw melalui hadist menjelaskan semua itu sehingga
umatnya tidak menajalani kesulitan untuk melaksanakan perintah tersebut.
Demikian pula halnya dengan perintah puasa dan haji yang telah terdapat
di dalam Al-Qur’an tetapi tidak dijelaskan tentang pelaksanaannya secara
terperinci, Rasulullah kemudian menjelaskan dengan perbuatannya melalui praktek
(tata krama) atau secara normatif dalam menjalanakan perintah Allah swt
tersebut, Firman Allah swt: “.. Dan kami turunkan Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkankepada merekan…” (QS An-Nahl:
44)
4.
Menetapkan
hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
Hadist juga dapat berfungsi
untuk menetapkan hukum apa bila di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai seperti
halnya keharaman seorang laki-laki untuk menikah dengan bibi istrinya dalam
waktu yang bersamaan. Perhatikan terjemahan hadist berikut ini2
“ Dilarang
seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan saudaranya
perempuan dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari
ibunya” (HR. Bukhori-Muslim)
Hadist
merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an hal ini bukan berarti bahwa
nabi Muhammad saw, sebagai penetap hukum atau memiliki kapasitas sebagai
pembuat hukum melainkan Allah swt. sendiri yang memberikan keputusan melalui
perantara yakni rasulNya.
Perhatikan
firman Allah swt
“Dan
tidaklah apa yang diucapkan (rasul) menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu
tidak lain adalah wahyu yang di wahyukan” (QS. An-Najm: 3-4)
2.4
Hubungan Al-Qur’an dan Sunnah
v Ditinjau dari hukum yang ada maka
hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai berikut:
1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah
ada di dalam Al-Qur-an.
Dengan
demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu
dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut
banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah,
berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat,
berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu
dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang
lainnya.
2. Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai
penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an,
atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang
muthlaq dan 'aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari
As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an
dengan firman-Nya :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada
ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” [An-Nahl: 44]
Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an
adalah:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ
فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu,
bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan...” [An-Nisaa’: 11] Ayat
ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:
• Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk
anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah,
• Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak
yang muslim atau sebaliknya, dan
• Pembunuh tidak mewariskan apa-apa.
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong
kedua tangannya...” [Al-Maa-idah: 38] Ayat ini tidak menjelaskan sampai di
manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnahlah didapat
penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan.
As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:
• Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”
• Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bersabda:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي
مَنَاسِكَكُمْ.
“Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu
sekalian.” Dan masih banyak lagi
ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.
3.Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum
yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya
memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang mempunyai taring,
burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera
dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits
yang shahih. Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an
dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang
telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak terdapat
pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah
mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ
صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ ۗ أَلَا
إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
“...Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
“...Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam telah
menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau
menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang
beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah
menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan
barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat
kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya.
Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti
Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hubungan
As-Sunnah dengan Al-Qur-an ada 3 macam, sebagai berikut:
a. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat
hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
b. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir
dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur-an.
c. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk
hukum yang tidak terdapat di dalam Al Qur-an, apakah itu hukumnya wajib atau
haram yang tidak disebut haramnya dalam Al-Qur-an. Dan tidak pernah keluar dari
ketiga pembagian ini. Maka As-Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur-an sama
sekali.
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di
dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya.
Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu
sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya.
Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ditaati, maka
ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita
wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang
beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَّن يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
‘Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat
kepada Allah...’” [An-Nisaa’: 80]
4.Bayan Tafsiri,
yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits:
“Shallukama ra’aitumuni ushalli” (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur’an yang umum, yaitu:
“Aqimush-shalah” (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: “khudzu
‘annimanasikakum” (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat
al-Qur’an “Waatimmulhajja” (dan sempurnakan hajimu).
Termasuk bayan tafisiri adalah:
– ayat-ayat Al Quran yang tersebut
secara mujmal, diperincikan oleh Hadits, contoh Hukum-hukum di dalam Al Quran
yang disebut secara umum dengan tidak menyebutkan kaifiat, sebab-sebab,
syarat-syarat dan lainnya semuanya diperjelaskan oleh hadits, eperti dalil halal
haram dalam makanan, dalam masalah ibadah sholat dll.
– Ayat-ayat yang mutlaq kemudian
dimuqayyadkan oleh hadits sesuai dengan tempat dan keadaan yang menghendakinya.
Seperti ayat tentang muamalah, munakahat, siyasiyah, dll-
– Ayat-ayat yang musykil diterangkan
oleh hadits, contoh ayat-ayat yang terkait dengan masalah aqidah, ayat yang
memiliki makna khusus, dll.
5. Bayan
Taqriri, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an, seperti hadits yang
berbunyi: “Shaumul liru’yatihi wafthiruliru’yatihi” (berpuasalah karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an
dalamsurat al-Baqarah:185
Termasuk bayan taqirir adalah hadits
yang menyatakan hukum-hukum, saluran dan saranan bagi sesuatu perkara sesuai
dengan masa atau situasi dan kondisi bagi berlakunya perkara-perkara itu
berlandaskan prinsip dan objektif Al Quran. Dan Hadits-hadits menarik
kaedah prinsipal daripada keterangan-keterangan Al Quran yang boleh dijadikan
sebagai panduan untuk mengqiaskan persoalan-persoalan yang baru timbul.
6. Bayan
Taudhihi,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qu r’an, seperti
pernyataan Nabi: “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati” adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat
al-Qur’an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: “Dan
orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya
di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih”. Pada
waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan
hadits tersebut.
Termasuk dalam bayan taudhihi,
adalah Hadits-hadits menceritakan sebab-sebab, hikmat dan maslahat-maslahat di
sebalik ketentuan hukum dalam Al Quran yang boleh dijadikan kaedah dan prinsip
dalam menentukan hukum-hukum yang tidak tersebut di dalamnya.. Nabi s.a.w.
mengambil hikmat ilahi daripada bimbingan, panduan dan misi Al Quran, kemudian
menjelaskannya kedalam kehidupan amali manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadist
atau al-hadist menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang
baru -lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu
yang dekat atau waktu yang singkat. Menurut ahli hadist pengertian hadist
ialah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Sunnah menurut etimologi
berarti cara yang bisa ditempuh baik ataupun buruk, Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadist, yakni
segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain
Struktur
hadist yang meliputi sanad dan matan.Sanad ialah
rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Matan ialah redaksi dari hadits. Kedudukan dan Fungsi Hadist yaitu Sebagai
sumber hukum Islam yang kedua,Sebagai penguat dan pengukuh hokum,Sebagai
penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum,Menetapkan
hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an,
Hubungan Al-Qur’an dan Sunnah.Ditinjau
dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai penguat
hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an,penafsir atau pemerinci hal-hal yang
disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, bayan dari mujmal Al-Qur-an,Bayan Tafsiri,Bayan Taqriri, Bayan
Taudhihi,
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment