MAKALAH KELOMPOK 7
“Qira’at dan Qurra’”
OLEH:
1. NITA SAFITRI
2. NURUL HIKMA
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
T.H 2015/2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah mari kita ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunian-Nya penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Qira’at dan Qurra’”. Shalawat beserta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi junjungan Nabi Muhammad SAW dengan mengucapkan “Allahumma shalli’ala syaidinna Muhammad, wa’ala ali syaidina Muhammad.” Semoga dengan berselawat kita mendapat pertolongan dari beliau di akhirat kelak.
Pada kesempatan ini, penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Terutama kepada dosen mata kuliah Al-Qur’an, bapak Arif Marshal. yang telah memberi bimbingan, dan juga kepada seluruh teman – teman penulis yang banyak membantu dalam menyelesaikan makalah.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan kepada pembaca tentang pengertian dari qira’at dan qurra’ serta batas-batas yang dibatasi oleh 7 atau sab’ah ahruf, di jelaskan juga tentang tokoh-tokoh imam qira’at.
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar penulis bisa terus belajar dan memperbaiki diri. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pekanbaru, 2 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Qira’at dan Qurra.......................................................................... 3
1.1.1 Pengertian Qira’at ............................................................................. 3
1.1.2 Pengertian Qurra’ ............................................................................. 4
1.2 Banyaknya Qurra’ dan Sebab yang Dibatasi Atas 7 ..................................... 4
1.2.1 Imam-Imam Qira’at (Qurra’) ........................................................... 4
1.2.2 Sebab-Sebab yang Dibatasi Atas 7 (Sab’atul Ahruf) ....................... 5
1.3 Faedah Perbedaan Dalam Qira’at yang Dibenarkan ..................................... 7
1.3.1 Faedah Qira’at .................................................................................. 7
1.3.2 Perbedaan Qira’at ............................................................................. 7
1.4 Macam-Macam Qira’at, Hukum dan Ketentuannya .................................... 10
1.4.1 Macam-Macam Qira’at .................................................................... 10
1.4.2 Hukum dan Ketentuan Qira’at ........................................................ 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 12
3.2 Saran-Saran ................................................................................................. 12
Daftar Pustaka ................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bangsa arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadic tersebar disepanjang jazirah Arabian. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Disisi lain perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri dengan melihat gejala beragam dialek yang sebenarnya bersifat dialek (natural) artinya fenomena yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah SAW, sendiri membenarkan pelafalan Al-qur’an dengan berbagai macam qira’at.
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Pengertian
Qira’at dan Qurra’.
1.2.2
Banyaknya
Qurra’ dan sebab yang dibatasi oleh 7.
1.2.3
Macam-macam
Qira’at, hukum Qira’at dan ketentuannya.
1.2.4
Faedah
dan perbedaan dalam Qira’at yang dibenarkan.
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk
mengetahui Pengertian Qira’at dan Qurra’.
1.3.2
Untuk
mengetahui Banyaknya Qurra’ dan sebab yang dibatasi oleh 7.
1.3.3
Untuk
mengetahui Macam-macam Qira’at, hukum Qira’at dan ketentuannya.
1.3.4
Untuk
mengetahui Faedah dan perbedaan dalam Qira’at yang dibenarkan
BAB II
PEMBAHASAN
QIRA’AT dan QURRA’
2.1
PENGERTIAN QIRA’AT dan QURRA’
2.1.1 Pengertian Qira’at
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang
merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan
oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut
ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at
menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut
huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif,
tasydid dan lain-lain.
Dari
pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal
al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana
perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at
itu.
Ada
pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari
al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang
dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya
dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq
darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan
bentuknya.”
Ada
beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan
pengertian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai
berikut :
Qira’at
adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir,
qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan
Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para
qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang
perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau
riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun
yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang
mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka
disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa
juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
Sehubungan dengan
penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu
qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang
sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. القرأت :Suatu
istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam
tertentu seperti, qira’at Nafi.
2. الرواية :Suatu
istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi
qira’at dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3. الطريق:Suatu
istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi
qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4. الوجه :Suatu
istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca
al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang
qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql
dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan ayat-ayat al-qur’an, kemudian
ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudanya hingga sekarang.
Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang
disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
2.1.2 Pengertian Qurra’
Qurra' adalah jama' dari qari', yang
artinya orang yang membaca, Secara istilah yaitu seorang ulama atau imam yang
terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatir
(Secara bahasa, mutawatir bermakna
banyak, terkenal atau umum)
Qurra' bisa juga di artikan secara mudah sebagai para imam qira'at,
Qurra' bisa juga di artikan secara mudah sebagai para imam qira'at,
2.2
BANYAKNYA QURRA’ dan SEBAB YANG DI BATASI ATAS 7
2.2.1
Imam-Imam Qira’at (Qurra’)
Berikut
ini adalah para imam qira’at yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah :
1. Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi,
maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada
tahun 177 H. Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’,
Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah
al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin
Ka’ab dari Rasulullah.
2. Ibn Kasir al-Makki
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin
Zada bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45
H. dan wafat juga di Makkah tahun 120 H.
3. Abu’Amr al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi
al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam
Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar
di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di
Kufah pada tahun 154 H.
4. Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah
al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in.
Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun
118 H di Damsyik.
5. ‘Ashim al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan
bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama
panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih
tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.
6. Hamzah al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi.
Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H.,
wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
7. Al-Kisa’i al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama
panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram
di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
2.2.2
Sebab yang dibatasi atas 7 (Sab’atul Ahruf)
Al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.Dalam
sejarah pemeliharaan Al Qur'an dimasa Sahabat,Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in,m ada
beberapa lahjah,pembacaan dan dialek yang berbeda dalam pengucapan kata maupun
kalimat dalam membaca Al Qur'an diantara suku atau qabilah Arab. Diantara
lahjah bahasa Arab yang mashur ialah Lahjah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim,
Asad, Rabi'ah Hawazin dan Sa'ad.Yang dalam tarikh melahirkan Qira'ah Sab'ah
(tujuh) yang termashur itu.
Agar al Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab
yang kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda,
maka Rosulullah membuat legitimasi bacaaan Al Qur’an dari Allh AWT untuk dialek
bahasa yang mereka miliki.
Banyak hadis-hadis nabi yang menerangkan bahwa
Allah telah mengizinkan bacaan Al Qur’an dengan tujuh wajah umat Islam mudah
membacanya.
Dari Ibnu Abas RA ia berkata: Rasulullah bersabda.
اقرانيجبرل علي حرف فربعته فلم ازل يده ويزيدنيحتي انتهيعلي سبعة احرف (روه البخاري ومسلم)
Artinya: “Jibril telah memberikan Al Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku senantiasa mendesah dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)
اقرانيجبرل علي حرف فربعته فلم ازل يده ويزيدنيحتي انتهيعلي سبعة احرف (روه البخاري ومسلم)
Artinya: “Jibril telah memberikan Al Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku senantiasa mendesah dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)
Imam Bukhori dan Muslim juga telah meriwayatkan
satu hadis bahwa Umar bin Khotob ra berkata yang artinya: “Pada suatu hari di
masa hidup Rasulullah SAW, aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surah Al
Furqon dan aku memperhatikan bacaannya, ternyata ia membaca dengan huruf yang
banyak, belum pernah Rosulullah membacakan kepadaku. Hampir saja aku
menerkamnya yang masih dalam keadaan sholat itu, tetapi aku bersabar hingga ia
salam. Kemudian aku pegang leher bajunya seraya bertanya dari mana ia
memperoleh bacaan seperti itu. Hisyam menjawab: Bahwa Rasul telah membacakan
kepadanya. Engkau bohong. Sebab Rosul telah membacakan kepadaku tidak seperti
itu, kataku. Kemudian ku ajak ia menghadap Rosul dan menceritakan kejadian itu.
Kemudian Rosul meminta Hisyam mengulangi bacaannya, dan setelah selesai maka
Rosul pun bersabda: Demikianlah Al Qur’an diturunkan dan kemudian beliau pun
bersabda: Sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah
mana yang mudah” (H.R. Bukhari, Muslim dari hadist Miskar bin Rokhimah dan
Abdul Rahmah dan Abdul Qori’)
Pengertian saba’atul ahruf menurut beberapa ulama:
1.
Saba’atu ahruf ialah tujuh macam bahasa. Jadi, Al Qur’an itu
diturunkan dengan tujuh mcam bahasa, yaitu bahasa Quraisy, Tsaqh, Kinnah,
Yaman, Hadzail, Khurasan, dan Tamim.
2.
Sab’atu ahruf yaitu: halal, haram, muhkam, mutasyabih,
amtsal, ikhbar, dan lasyak.
3.
Sab’atu ahruf ialah tujuh kaidah yaitu; nasikh,
mansukh, khos, am, mujmal, mubayyan, dan mufassar.
4.
Sab’atu ahruf yaitu tujuh bentuk kalimat yaitu; amr, thalab,
khabar, zajar, nahi, doa, dan istikhbar.
5.
Sab’atu ahruf ialah, janji, mutlak, tafsir, takwil, ancaman,
khabar, muqayyad, dan i’rab.
6.
Dikemukakan oleh Abu Fadl dari Razzi bahwa yang dimaksud
dengan sab’atu ahruf ialah tujuh macam bentuk perbedaan bacaan yaitu:
a.
Perbedaan pada bentuk isim antara mufrad, tasniyah, al jama’,
seperti kalimat لا ما نتهم (dalam bentuk mufrod) dibaca لاماناتهم (dalam bentuk jama’)
b.
Perbedaan pada bentuk fi’il antara madli. Mudlori’. Al amar
seperti kalimat ربنابعد )dalam bentuk fi’il madhi) dibaca ربنا
اعد(dalam bentuk fi’il amar)
c.
Perbedaan dalam bentuk i’rab antara rafa’, nashab, al jazm.
Seperti kalimat: ولا يضا ر (dengan i’rab rafa’ dibaca ولايضار (dengan i’rab nashab)
d.
Perbedaan pada bentuk naqish dan ziyadah, seperti kalimat سارعوا
(tanpa wawu) dibaca وسارعوا (dengan wawu)
e.
Perbedaan pada bentuk takdim dan ta’khir seperti kalimat: فيقتلون ويقتلون
(dengan mendahulukan فيقتلون) dibaca فيقتلون ويقتلون (dengan mendahulukan فيقتلون
f.
Perbedaandalam bentuk tabdil (penggantian huruf) seperti
kalimat ننشرها (dengan ra) ننشزها (dengan za)
g.
Perbedaan dalam bentuk dialek seperti bacaan imalah, taqlil,
tashil dll.
Pendapat ke enam inilah yang paling masyhur dalam dunia Qiraat, karena menurut penelitian bahwa perbedaan bacaan Al Qur’an tidak keluar dari tujuh bentuk perbedaan tersebut.
Pendapat ke enam inilah yang paling masyhur dalam dunia Qiraat, karena menurut penelitian bahwa perbedaan bacaan Al Qur’an tidak keluar dari tujuh bentuk perbedaan tersebut.
2.3
FAEDAH PERBEDAAN DALAM QIRA’AT YANG DIBENARKAN
2.3.1 Faedah Qira’at
Keberagaman qiraat yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan
dan penyimpangan
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-quran
3. Menunjukkan kemukjizatan Al-Quran
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain
5. Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. 2.
Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan
penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
6. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang
lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz
yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu
penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat
dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
7. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan
lafaz.
8. Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran
tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam
qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga
qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat
wajah Allah di akhirat nanti.
9. Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad
SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun
dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun
dengan beberapa qiraat.
2.3.2 Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan
perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat
terjadi karna beberapa sebab yaitu :
1. Pada tulisan itu sendiri, seperti:
a. Perbedaan i’rab
b. Perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il
c. Perbedaan huruf-huruf pada kata
d. Perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan
e. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan
f. Perbedaan dalam penambahan dan pengurangan.
2. Perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti:
a. Perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif,
tafkhim, imalah, isymam dan lain-lain
b. Perbedaan tempat waqaf
Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan
makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd al-Rahman
al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada
tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak
berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran
mad, takhfif, imalah, dsb. Sedangkan yang berpengaruh pada tafsir
terbagi dua, yaitu:
1. Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ – مََلَكَ
2. Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ
– يَصُدَّوْنَ
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya
mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf
atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Ibrahim Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan
masalah qira’at al-Qur’an, yaitu:
1. Berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau bahasanya.
2. Berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan kosong tanpa titik dan
tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj menyuruh kepada dua
orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi titik dan harakat,
lalu keduanya melaksanakannya.
3. Berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau
mendahulukan kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, dan
lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh
kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang
diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan ini dapat
terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda baca (syakal
) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit
diubah.
Masalah kedua terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan
(mushhaf) al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam
prosesstandarisasi rasm al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al
Qur’an masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung
disusun Nabiv melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi
melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan
atau bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah,
tetapi setelah dunia Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul
masalah, karena tidak semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda
huruf dan tanda baca. Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada
masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn
Samiyyah yang menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam
masyarakat terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis,
penentuan i’rab banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau
menurut riwayat bacaan yang sampai.
Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran
periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai
kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada
masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan
diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh
periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf
Utsmani, tetap diakui keabsahannya.
2.4 Macam-Macam Qira’at, Hukum dan Ketentuannya
2.4.1 Macam-Macam Qira’at
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at
menjadi enam macam:
1.
Mutawathir,
yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, dan sejumlah orang seperti itu dan sanadnya
bersambung hingga penghabisannya, yaitu Rasulullah saw. Dan inilah yang umum
dalam hal qira’at.
2.
Masyhur,
yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawathir,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan Rasm Utsmani serta terkenal pula di
kalangan para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang
salah atau syadz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk
qira’at yang dapat dipakai atau digunakan.
3.
Ahad,
yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi
kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang
disebutkan. Qira’at macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan
bacaannya. Di antara contohnya adalah yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa
Nabi membaca “muttaki-iina ‘alaa rafaarifa khudl-riw wa ‘abaaqariya hisaan”
(ar-Rahmaan: 76) (hadits Hakim) dan yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ia
membaca “laqad jaa-akum rasuulum min anfusikum” (at-Taubah: 128), dengan
membaca fathah huruf fa’. (Hadits Hakim)
4.
Syadz,
yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at “malaka yaummad diin”
(al-Faatihah: 4) dengan bentuk fi’il madli dan menasabkan “yauma”.
5.
Maudlu’,
yaitu qira’at yang tidak ada asalnya
6.
Mudraj,
yaitu ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibn
‘Abbas: “laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum fii
mawaasimil hajji fa idzaa afadltum min ‘arafaatin” (al-Baqarah: 198) (HR
Bukhari), kalimat “fii mawaa simil hajji” adalah penafsiran yang disisipkan ke
dalam ayat.
Keempat macam terakhir ini tidak boleh
diamalkan bacaannya.
Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawathir. dan yang tidak mutawathir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca dalam maupun di luar shalat.
Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawathir. dan yang tidak mutawathir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca dalam maupun di luar shalat.
2.4.2 Hukum dan Ketentuan Qira’at
Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab berkata:
“Qira’at yang syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat,
karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang
mutawathir, sedang qira’at yang syadz tidak mutawathir. orang yang berpendapat
selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi selain ini
dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka ia harus diingkari baik bacaan itu
di dalam maupun di luar shalat. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca
al-Qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertobat. Ibn ‘Abdil Barr
menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa al-Qur’an tidak boleh dibaca dengan
qira’at yang syadz dan juga tidak sah shalat di belakang orang yang membaca
al-Qur’an dengan qira’at-qira’at syadz itu.”
Menurut sebagian ulama,
dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
a. Qira’at
tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik
segi itu fasih maupun lebih fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus
diikuti diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada
isnad,bukan ra’yu (penalaran).
b. Qira’at
sesuai dengan salah satu mushaf usmani,meskipun hanya
sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu
para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan
mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka
ketahui.
c. Qira’at
itu harus shahih sanadnya sebab qira’at merupakan sunnah yang
diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah syarat-syarat
yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang sahih. Apabila ke tiga syarat ini
telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah qira’at sahih. Dan bila salah
satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang
lemah,syaz atau batil.
Berkata Abu ‘Amr
ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf
al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam
dunia kebasaan dan paling sesuai dengan kaidah
bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat
dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak menolak dan
mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib
diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “
Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah yaitu sunnah yang harus diikuti.
Maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam
hal qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak
boleh menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam
bahasa arab.”
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Qira’at merupakan salah
satu cara membaca Al-Quran yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, serta cocok dengan
salah satu dari beberapa mushaf Utsmani. Macam-macam qira’at jika ditinjau dari
para qurra’ (seorang imam yang ahli membaca Al-Quran) ada tiga yaitu, qira’at
sab’ah (qira’at yang disandarkan pada tujuh ahli qira’at), qira’at asyrah
(qira’at yang disandarkan pada sepuluh ahli qira’at), dan qira’at arba’ata
asyrata (qira’at yang disandarkan pada 14 ahli qira’at). Jika ditinjau dari
para perawinya ada qira’at mutawatiroh, masyhurah, ahad, syadzdzah, maudhu’ah,
dan mudraj. Sedangkan jika ditinjau dari segi nama jenis ada qira’at, riwayah,
thariq, dan wajah.
Perbedaan qira’at
ternyata mengakibatkan perbedaan dalam istinbat hukum. Sebagai contoh dalam
surat Al-Maidah ayat 6. Yang menyebabkan perbedaan pendapat apakah dalam
berwudhu kedua kaki harus dicuci atau hanya dibasuh saja. Qira’at وارجلكم dipahami
oleh jumhur ulama bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara
qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami
oleh sebagian ulama bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki,
akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk
memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
2.3 Saran-Saran
Bila qira’at merupakan
sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan
menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu
kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas
dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di
atas penyusun mengharapkan pada para pembaca untuk senantiasa
meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena
disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca
juga merupakan terapi atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya,
jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring
pertama menuju ridho-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Comments
Post a Comment